Rabu, 22 Desember 2010

PERAN NAHDHATUL ULAMA DALAM PEMBENTUKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai hubungan negara dan agama tidak lepas dari  paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi. Ke empat paham ini berbicara secara luas dan gamblang mengenai hubungan agama dan negara. Teokrasi, berpandangan bahwa   hubungan agama dan Negara mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan kata lain hubungan agama dan Negara sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan.karena pemerintahan dijalankan didasarkan firman-firman tuhan. Sekularis, berpandangan bahwa Negara dan agama tidak memiliki hubungan satu sama lain, dalam paham ini Negara dan agama adalah murni urusan hubungan manusia dengan manusia lain sedangkan agama adalah murni urusan manusia dengan tuhan. Komunis, paham ini berpandangan secara radikal, bahwa hubungan agama dan Negara berdasarkan pada filosofis materialism dialektis dan materialism historis. Output dan outcome dari pandangan ini adalah paham atheis. Moderasi, yaitu sintesa dari paham teokrasi dan sekuler. Paham ini berpendirian bahwa terdapat nilai-nilai baik, seperti nilai keadilan dan moral dan system keteraturan. Sementara Negara memiliki system kekuatan yang mengejawantahkan tujuan Negara, seperti nilai kesejahteraan dan kenyamanan warga Negara.
Namun dalam pembahasan makalah ini penulis tidak akan membahas mengenai hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Walaupun penulis sadar bahwa pembahasan mengenai paham tersebut masih menarik untuk dibahas.
Namun pembahsan makalah ini bertendensi pada hubungan agama dan Negara mengenai kontribusi atau sumbangsih Nahdhatul Ulama (NU) terhadap perjalanan sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai representasi dari Agama Islam . Dengan hal ini maka perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam makalh ini tidak melebar dan pembahsannya focus pada permasalahan yang dirumuskan.
 
B.        Rumusan masalah
Adapun rumusan maslah dalam pembuatan makalah ini adalah :
a.       Kapan Nahdhatul Ulama (NU) terbentuk?
b.      Seperti apa peranan Nahdhatul Ulama dalam Piagam Jakarta?

C .     Tujuan Penulisan
           Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a.       Mengetahui Sejarah Lahirnya Nahdhatul Ulama (NU)
b.      Mengetahui sejauh mana Nahdhatul Ulama (NU) berperan dalam Piagam Jakarta.
                                                                                                                  
BABII
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Lahirnya Nahdhatul Ulama
Sebelum Nahdhatul Ulama berdiri, desakan dari kalangan muda islam tradisionalis kepada K.H Hasyim Asyari untuk segera merestui pembentukan organisasi yang mengkoordinir kaum islam tradisionalis sebagai wadah insipirasi dan aspirasi golongan tersebut sudah mulai muncul namun K.H. Hasyim Asyari belum merestuinya. Embrio-embrio NU muncul ketika pada tahun 1916, kiai wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdhatull wathon (kebangkitan tanah air) DI Surabaya. Namun lama kelamaan madrasah tersebut menjadi markas penggemblengan para remaja, dari situ kemudian lahirlah sebutan jam’iyah Nasihin yang bertujuan untuk mendidik muridnya supaya menjadi pemimpin.
Pada awal tahun 1918, kiai wahab juga membentuk sebuah koperasi pedagang yang bernama Nahdhatut tujjar.
Tidak berhenti disitu perjuangan kiai Wahab sebagai embrio Nahdhathul Ulama. Pada tahun 1919 berdiri madrasah yang bernama Taswhirul Affkar, yang bertujuan untuk menyediakan bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar yang ditujukan sebagai “sayap” untuk membela kepentingan islam tradisionalis.
Baru pada tanggal 31 januari 1926,Nahdahtul Ulama secara defacto lahir atas persetujuan K.H Hasyim Asya’ri. Nahdhatul Ulama lahir sebagai organisasi keagamaan yang menjunjung tingi nilai-nilai tradisional, fenomena lahirnya NU sebagai Organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional karena pada tahun awal Nu berdiri sedang gencar-gencarnya isu pemurnian agama islam, yang dianut oleh kaum wahabi yang mengancam kaum islam tradisional. Ajaran wahabi tersebut mengangap banyak umat islam yang masuk dalam kategori kafir, salah satunya ialah ritual mengunjungi makam-makam keramat atau berziyarah kubur.
Berdirinya NU juga sebagai strategi kaum islam tradisionalis untuk dapat hadir dalam delegasi pertemuan umat islam sedunia yang diselenggarakan oleh Ibnu Sa’ud di Makkah untuk membahas tentang persoalan tata cara beribadah umat islam. Dua tahun setelah Muktamar NU pertama, NU berhasil mengirim delegasinya. Ada 4 misi yang dibawa Nu untuk diserahkan raja Ibnu sa’ud. Pertama, kemerdekaan bermadzhab. Kedua, pengizinan kitab-kitab karangan Imam Ghazali, imam sanusi dll. Ketiga, permohonan untuk meramaikan tempat-tempat bersejarah dan yang keempat, meminta penjelasan tarif naik haji serta penjelasan tertulis mengenai kepastian hukum yang berlaku di negeri Hijaz. Namun, hanya satu yang dikabulkan oleh Ibnu Sa’ud yaitu mengenai kemerdekaan bermadzhab, sedangkan hal yang lainnya tidak ditanggapi sama sekali.
Pada tahun 1928 Secara dejure NU lahir sebagi organisai, karena pada tahun itu NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah belanda. Namun pengakuan tersebut diterima pada tanggal 6 Februari 1930. NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan anutan yang ketat pada keempat mazhab dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama islam.

B.     Peran Nahdhatul Ulama dalam Pembentukan Negara Republik Indonesia
Setelah mengurai secara singakt namun jelas dan gamblang berdirinya organisasi Nahdhatul Ulama dari mulai menjelaskan embrio-embrio dari fenomena kemunculan Nahdhathul Ulama sampai pada akhirnya terbentuk secara de facto dan de jure organisasi yang bernama Nahdhatul Ulama yang bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan membahas peran Nahdhatul Ulama dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.
Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh colonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan untuk pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916 oleh kiai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal semangat nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap para murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang lebih cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul Ulama ini terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti-kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah kaum tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam, Nahdhatul Ulama, secara implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah, beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa nasionalisme sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.
Dalam bidang hokum khususnya pada urusan keagamaan umati islam, Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak interfensi dari  pemerintahan Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisa ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, artinya bahwa hokum adat yang kembali diberlakukan di Pulau jawa, Madura dan Klaimantan selatan. Hal ini bukan semata-mata diberlakukannya hokum adat akan tetapi penggrogotan wewenang Pengadilan Agama yang merupakan lambing wewenang kaum muslimin yang menimbulkan rasa tidak senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan, meskipun NU tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para pemimpin NU memperhatikan juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas dalam Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas memimpin bangsa. Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang dipimpin oleh Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi kemerdekaan,  berdebatan sengit mengenai bentuk Negara yang dimulai dari tahun 1920-an, akhirnya memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain yang diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain : mengenai batas wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945, dalam pidatonya, Soekarno meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur disebut dengan pancasila.   
Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini tercermin dalam iskusi antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan kahar Muzakar yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara.
Lagi-lagi, pancasila kembali menimbulkan diskursus dengan golongan islam kanan dan golongan nasionalis, hingga pada akhirnya Soekarno memanggil panitia 62 kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang yang akan membahas kompromi antara kaum islam dan nasionalis. Kiai Wahid Hasyim sebagai representasi dari golongan islam tradisional atu NU, dalam rapat panitia tersebut membuahkan hasil dengan menambahkan acuan syariat islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5 sila tersebut, pada rapat selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan kembali oleh tokoh nasionalis dan Kristen. Latuharahray, dari protestan, melontarkan dengan tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat islam dalam sila tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar agama Negara adalah islam, dengan jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-masing.
Perdebatan sengit mengenai piagam jakarta ini, saat dua hari setelah jepang menyerah, yakni pada tanggal 17 Agustus malam, pada hari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, menerima kunjungan perwira jepang yang menyampaikan keberatan-kebeatan penduduk di Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam mengenai dimuatnya piagam Jakarta pada mukaddimah UUD, bila tidak diuabah, mereka lebih suka berdiri diluar republic Indonesia. Artinya mereka tidak akan bergabung dengan Indonesia dan perpecahan ini diakibatkan oleh piagam Jakarta pada muqadimahnya. Pada akhirnya pada tanggal 18 agustus Muhamad Hatta memanggil empat anggota panitia persiapan kemerdekaan yang diwakili oleh Islam. Antra lain yaitu: Ki Bagus Adi Kusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhamad Hasan dan Wahid Hasim. Hasil rapat panitia tersebut berkat usulan Wahid Hasim yaitu mengenai digantinya syariat Islam dengan ketunahan yang maha esa.  Wahid Hasim sebgai representasi dari NU berperan penting atas persatuan bangsa Indonesia dengan kata lain beliau adalah pahlawan konstitusi Republik Indonesia yang menjungjujng tinggi persatuan dankesatuan, tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam dalam piagan Jakrta tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Atas persetujuan kyai Hasim Asyari NU lahir pada tahun 1926 yang di pelopori oleh Wahab Hasbulloh, yang sebelumnya membentuk gerakan-gerakan seperti Nahdatul Waton, dan sebagainya. Organisasi NU, bertujuan  menjungjung tinggi nilai tradisional khususnya di bidang keagamaan dan motif nasionalisme.
Peran NU dalam pembentukan Negara Republik Indonesia, berperan penting dan tercermin dalam gerakan Nahdatul Waton sebelum NU lahir, Nahdatul Waton sendiri bertujuan untuk menanamkan masyarakat Indonesia supaya tumbuh jiwa-jiwa nasionalismenya. Nahdatul Waton berdiri pada 1916 yang didirikan oleh Wahab Hasbuloh di Surabaya,. Baru pada tahun 1926 dimana pada tahun itu Nu lahir, perjuangan NU terhadap pengusiran penjajah terejawantahkan dalam perlawanan-perlawanan terhadap colonial Belanda mengenai hukum keagamaan yang terintervensi oleh Belanda. Perjuangan pengusiran Belanda tidak hanya sampai disitu diempat tahun kelahiran NU, NU berani menentang kebijakan colonial Belanda yang melarang peredaran buku-buku di dalam pondok pesantren dan madrasah serta menyanyikan lagu kebangsaan di akhir kegiatan belajar mengajar.
Dalam masa persiapan kemerdekaan NU juga berperan penting terhadap persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, dengan memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada piagam Jakarta, yang pada waktu itu menjadi perdebatan sengit mengenai dicantumkannya syariat Islam pada piagam Jakarta yang dianggap salah satu perpecahan karena banyak penganut agama diluar Islam yang turut andil dalam pembentukan NKRI. Walaupun demikian sikap NU bukan berrati menjauhi ajaran Islam akan tetapi lebih kepada subtansi dari nilai ajran Islam bukan hanya skriptual yang terletak di piagam Jakarta tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
                               

1.         Ismatullah Deddy, Gatara Sahid, A.A ; Ilmu Negara Mutahir ‘Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama (Bandung`:Pustaka Attabdir : 2006).
2.         Anwar Ali; “Avonturisme” NU.(Bandung: Hunaniora:2004).
3.         Feillard Andree:NU vis-à-vis Negara”Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna”.(Yogyakarta:LKIS:2009).

Kamis, 25 November 2010

SERI POLITIK ISLAM


PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER
DARI MAUDUDI SAMPAI HASAN ALBANA

OLEH : 
MOH. NUHUD AL-HUSAINI



1. PENDAHULUAN

Jatuhnya Bagdad pada pertengahan abad XIII M, yang menandai pula tamatnya Dinasti Abbasiyah, kiranya belum berakhirnya masa kejayaan dunia Islam. Yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa tersebut barulah hilangnya lembaga khalifah yang mencerminkan kepemimpinan pusat dan tunggal bagi seluruh dunia Islam suatu lembaga yang sudah sejak lama otoritas dan kekuasaannya hanya tinggal nominal saja. Meskipun pimpinan pusat pimpinan tersebut sudah tiada, dunia Islam masih tetap tegar, terus berkembang dan bahkan masih mampu melakukan ekspansi atau perluasan wilayah kekuasaan, di bawah pimpinan sejumlah penguasa lokal yang bertebaran di dunia Islam, masing-masing dengan gelar raja, sultan dan sebagainya.
Dalam abad XVI M dari sekian banyak kerajaan dan kelsultanan Islam munculah tiga kerajaan besar, masing-masing dengan wilayah yang luas, yakni Ustmaniyah (Sunni) yang kekuasaan wilayahnya meliputi kawasan timur tengah dan timur benua Erofa; Safawi (Syiah) di Persia; dan Mughal (Suni) di anak Benua India. Baru pada abad XVIII M kekuasaan, wibawa dan kemakmuran tiga negara Islam tersebut berangsur menurun dan mundur, yang disebabkan oleh disintegrasi politik dengan melemahnya otoritas masing-masing pemerintah pusat dan munculnya penguasa-penguasa semi otonom di berbagai daerah dan propinsi negara-negara Erofa, atau karena kalah perang, serta kemerosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat, terutama para penguasa. Sebagai akibat dari kemunduran itu maka di masyarakat luas berkembang dan mengentallah pendapat dan keyakinan bahwa:
a.      Hal-hal tersebut terjadi oleh karena Islamyang diamalkan dan dihayati oleh umat Islam bukan lagi ajaran Islam yang murni, tetapi ajaran yang sudah tercemar oleh masuknya unsur-unsur dari luar yang pada hakikatnya bertentangan secara diametrikal dengan ajaran Islam, dengan tudingan khusus kepada sinkritisme Sufi sebagai yang bertanggungjawab atas masuknya unsur-unsur luar ke dalam akidah dan ajaran Islam, dan munculnya inovasi-inovasi yang sebenarnya tidak Islam;

b.      Untuk meraih kembali kejayaan yang pernah dinikmati pada masa keemasan dahulu, umat Islam harus memulihkan vitalitas mereka dengan kembali kepada ajaran Islam Islam yang murni, Islam yang dahulu diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dan kemudian dihayati para sahabatnya, khususnya selama periode al-Khulufa al-Rasyidin di Madinah.


2. PEMBAHASAN

A.           Sayid Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
Sayid Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha adalah tiga tokoh pemikir Islam kontemporer yang semasa hidupnya saling berdekatan dan mempunyai hubungan yang erat.  Sayid Jamal al-Din al-Afgani adalah guru dari Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha juga berguru kepada Muhammad Abdu.
Pada usia 23 tahun, Abduh berkenalan dengan Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan kacamata yang baru. Oleh Afgani dia diperkenalkan kepada karya-karya banyak penulis Barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta kepada masalah-masalah politik dan sosial yang tengah dihadapi oleh rakyat Mesir sendiri maupun umt Islam pada umumnya.
Pengaruh Afghanilah yang mendorong Abduh untuk belajar ilmu jurnalistik, yang terus dipraktekannya. Bersama Afghani dia membentuk organisasi al-urwah al-wutsqa, dan menerbitkan majalah yang senama dengan organisasi itu. Dari Paris dia pindah ke Tunisia beberapa bulan sambil berpropoganda mengenai organisasi itu. Tetapi sejak awal tahun 1885 dia menetap di Beirut dan sempat ikut mengajar dalam suatu lembaga pendidikan agama. Dalam periode itu, Abduh sempat menyalin satu-satunya buku karya tulis Afghani yang cukup berarti, yang berisi sanggahan terhadap atheisme, dari bahasa Persia ke bahasa Arab.
Pada tahun 1899 kepadanya dipercayakan menduduki jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. Abduh diangkat sebagai Mufti negara, dan jabatan ini tetap didudukinya sampai dia wafat pada tahun 1905.
Ridha pertama kali bertemu dengan Abduh pada akhir tahun 1882. Perkenalan sebenarnya dan yang memperngaruhi pandangan keagamaan dan politiknya adalah sewaktu Abduh kembali ke Beirut dari Erofa tahun 1885. Pembacaan Al-Urwah al-Wutsqa dan pergaulannya dengan Abduh selama tinggal di Beirut telah mendorong Ridha untuk meyakini kebenaran gerakan Salafiyah yang dipelopori oleh Afghani dan Abduh, dan menariknya sedikit demi sedikit dari ajaran tasawuf tradisional. Pada tahun 1898, Ridha pindah ke Mesir dan berhasil meyakinkan Abduh tentang amat perlunya diterbitkan suatu majalah yang merupakan corong bagi gerakan pembaharuan Islam; maka diterbitkanlah majalah mingguan al-manar di bawah asuhan Abduh-Ridha.
Sepeninggal Abduh, Ridha melanjutkan apa yang telah dirintis bersama gurunya, yakni pembaharuan keagamaan, dengan meneruskan penerbitan majalah Al-Manar dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, yaitu Al-Manar. Selain itu Ridha juga lebih aktif melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik Islam.
Salafiyah adalah suatu lairan keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Salafiyah dari Afghani mempunyai dimensi yang lebih luas daripada aliran-aliran Salafiyah sebelumnya. Salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni:
a.       Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-khulafa al-Rasyidin.
b.       Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan.
c.       Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam.
Adapun aliran-aliran Salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari satu unsur saja, yaitu komponen pertama dari yang tiga tersebut.

Jami'ah Islamiyah
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam serta pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam yang  dalam bahasa Arab disebut Jami'ah Islamiyah, dan dalam istilah asing disebut Pan- Islamisme. Meskipun ketiganya sepakat tentang sangat perlunya dibentuk ikatan tersebut, namun pengertian mereka tentang organisasi itu tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat-rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan solidaritas akidah Islam, bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam dalam perjuangan: (a) mementang tiap sistem pemerintahan (di negeri sendiri) yang despotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan oleh Islam,hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Ustmaniyah yang absolut itu; dan (b) menentang kolonialisme dan dominasi Barat.
Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing negara naggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih ditinggikan.
Berbeda dengan Afghani, Abduh maupun Ridha pada dasarnya tidak menghendaki kekuasaan Ustmaniyah diganggu. Menurut Abduh, pemerintahan Ustmaniyah itu memang bobrok, tetapi masih ada harapan untuk diperbaiki; dan setelah diadakan perbaikan dan reformasi akan mampu memainkan peranan sebagai kekuatan moral dan spiritual bagi pembinaan solidaritas Islam dan bagi penggalakan semangat dunia Islam untuk terus bergerak maju.

Bagi Ridha, Jami'ah Islamiyah itu justru harus merupakan lembaga Utsmani murni, di bawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II, yang mempersatukan seluruh umat Islam, dengan tujuan memperkuat wibawa dan kemampuan sultan dalam menghadapi tantangan dan tentangan kekuatan-kekuatan asing. Pengertian Ridha ini mencerminkan pendiriannya tenang perlunya dipertahankan lembaga khalifah dan kepercayannya yang penuh kepada Pemerintah Ustmaniyah.

Reformasi dan Pembaharuan Politik
Secara umum dapat dikataklan bahwa reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh Salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan Badan-Badan Perwakilan Rakyat, pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan dominasi Barat.
Menurut Afghani, cara yang terbaik dan efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut adalah melaui revolusi yang didasarkan atas kekuatan rakyat. Sedangkan menurut Abduh, sasaran-sasaran itu akan tercapai dengan baik melalui evolusi dan usaha-usaha terhadap; dan untuk menjamin bahwa pembaharua politik itu akan menghasilakan perubahan-perubahan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak, dan tidak hanya oleh segelintir manusia saja, diperlukan juga pembaharuan dalam bidang pendidikan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas kesempatan belajar sampai pada rakyat jelata. Abduh percaya betul bahwa hanya melalui reformasi dalam bidang pendidikan umat Islam di satu sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berpikir serta tahu akan hak-haknya, dan di sisi lain meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab dan kewajibannya. Reformasi politik tanpa disertai pembaharuan dalam bidang pendidikan akan berakibat rakyat hanya akan pindah majikan, dari raja atau kepala negara yang despotik kepada wakil-wakil rakyat yang mampu memanipulasi kebodohan dan kelemahan rakyat untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.



Kekuasaan Keagamaan
Menurut Abduh, Islam tidak mengenal kekuasaan agama dengan arti: pertama: Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau kelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat dari agama atau dari Tuhan; kedua: Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; dan ketiga: Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat dan penafsirannya tentang agama atas orang lain. Sesungguhnya dalam Islam tidak terdapat kekuasaan keagamaan selain kewenangan untuk memberikan perigatan secara baik, ajakan (orang lain) ke arah kebaikan dan menariknya dari keburukan. Kewenangan itu diberikan kepada setiap muslim, baik yang berpangkat tinggi maupun rakyat jelata.
Dengan pendapatnya yang demikian, Abduh tidak sepaham dengan pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya dia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurutnya, khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.
Abduh mengakui, Islam bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlukan adanya penguasa, lengkap denagn aparatnya.  Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya, dan yang berhak menurunkan kepala negara dari tahta.

Kepala negara bukanlah sebagai wakil atau bayangan Allah di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agam,a meskipun perilaku atau kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaranm agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, maka lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan Syeikh al-Islam atau Mufti. Mereka daat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.

Lembaga Khalifah
Ridha sedikit lebih maju daripada para pemikir Islam sampai zaman klasik dan pertengahan mengenai siapa yang disebut ahl al halli wa al aqdi yang berhak memilih khalifah. Mereka menurut Ridha tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga dilengkapi dengan pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya.
Ridha membagi ulama atau ahli agama dan cendikiawan di dunia Islam dalam tiga kelompok, yaitu: ulama atau ahli fiqh yang berotak beku, cendikiawan-cendikiawan (muslim) pengagum dan peniru pola pikir dan sistem Erofa, dan pengikut gerakan pembaharuan Islam moderat (kelompok Abduh). Ridha menyatakan bahwa kelompok ketiga-lah satu-satunya yang berhak dipercaya sebagai ahl al halli wa al aqdi, oleh karena hanya dalam kelompok itu terdapat perpaduan antara kemandirian dalam pemahaman agama dan pengetahuan yang memadai tentang esensi peradaban serta kemajuan Erofa.
Dia menekankan bahwa tugas "orang-orang pilihan" itu tidak berakhir dengan usainya pemilihan/pengangkatan khalifah. Mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap jalannya pemerintahan khalifah dan harus menghalanginya dari berbuat penyelewengan, kalau perlu dengan kekerasan.
Dengan gagasan ini, Ridha jauh lebih maju dibandingkan dengan kebanyakan pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang tidak membenarkan digunakannya kekerasan dalam melawan khalifah atau kepala negara yang zhalim, karena khawatir akan menimbulkan kerusuhan dan perang. Mereka cenderung menekankan bahwa bagaimanapun, rakyat harus tetap setia dan taat kepada khalifah/kepala negara.

B.     Ali Abd Al-Rasiq
Menurut pengertian Abd al-Rasiq, khalifah adalah satu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang kepala negara/pemerintahan dengan gelar khalifah, pengganti Nabi Muhammad SAW, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan umat/rakyat, baik keagamaan maupun keduniaan, yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan taat sepenuhnya.
Dia tidak sependapat dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, dan karenanya maka berdosa kalau tidak dilaksanakan. Abd al-Rasiq sama sekali tidak dapat menemukan dasar kuat yang mendukung kepercayaan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempunyai khalifah, baik dalam Al-Quran, Hadits maupun Ijma.
Terhadap alasan bahwa wajib atau harus ada yang diangkat menjadi khalifah demi melindungi kelestariajn Islam dan kepentingan rakyat, Abd Al-Rasiq menjawab bahwa memang benar dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa yang mengatur dan melindungi kehidupan mereka, lepas dari agama dan keyakinan mereka, apakah Islam, Nasrani, Yahudi atau penganut agama lain, dan bahkan mereka yang tidak beragama sekalipun. Tetapi pemerintahan itu tidak harus berbentuk khalifah, melainkan dapat beraneka ragam bentuk dan sifatnya, apakah konstitusional atau kekuasaan mutlak, apakah republik ataukah diklator dan sebagainya. Tegasnya tiap bangsa harus mempunyai pemerintahan, tetapi baik bentuk maupun sifat pemerintahan itu tidak harus satu, khilafah, dan boleh beraneka ragam.

C.     Al-Ikhwan Al-Muslimin
Al-Ikhwan al-Muslimin adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismailiyah, sebelah timur laut Kairo, Mesir, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama yang karismatis, yaitu Syeikh Hasan al-Banna. Dalam sepuluh tahun pertama sejak didirikan organisasi itu memusatkan perhatiannya kepada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan sosial. Proyek-proyek pendidikan dan kesejahteraan sosialnya mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat luas. Di antara kegiatannya dalah mendirikan banyak klinik dan rumah sakit kecil, mesji9d serta sekolah, membuka isdustri kecil pedesaan dan balai pertemuan.
 Al-Ikhwan al-Muslimin berkembang menjadi suatu organisasi keagamaan dan politik yang amat tangguh. Tiap anggota diwajibkan mengikuti program latihan pendidikan dan ideologi yang menitikberatkan pembinaan ketahanan moral dan jasmani agar lebih mampu mempertahankan dan membela Islam. Keanggotaan yang semula terbatas pada penduduk pedesaan dan orang kota yang tergolong rakyat jelata kemudian meluas ke golongan menengah seperti pedagang, guru, dokter, pengacara, hakim, pegawai negeri, anggota angkatan bersenjata dan mahasiswa.
Al-Ikhwan al-Muslimin terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiatan-kegiatannya menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina. Aspirasi politiknya juga makin terkritalisasi, yakni secara jelas mendambakan berdirinya negara Islam di Mesir.
Pengertian dan pemahaman Al-Ikhwan al-Muslimin tentang ajaran Islam pada umumnya dan tentang musyawarah Islami serta negara Islam sangat diwarnai oleh ajaran pendiri organisasi tersebut, yaitu hasan al-bnna dan karya-karya Sayyid Quthb, pendatang baru yang masuk menjadi anggota organisasi itu pada tahun 1950.

Pokok-pokok pikiran Al-Ikhwan al-Muslimin tentang sistem politik Islam dapat disimpulkan dari dua buku karya dua tokoh organisasi tersebut, yaitu: (1) Al-Adalah al Ijtima'iyah fi al-Islam (keadilan sosial dalam Islam) oleh SayyidQuthb; dan (2) Al-Ikhwan al-Muslimin: Du'at la Qudhat (Al-Ikhwan al-Muslimin: mangajak bukan menghakimi) oleh Dr. Hasan Ismail al-Hudhaibi, pemegang pucuk pimpinan gerakan setelah terbunuhnya Hasan al-Banna.
Dalam bukunya Al-Adalah al Ijtima'iyah fi al-Islam tersebut, Sayyis Quthb mengemukakan tiga pokok pikiran seperti berikut:
1)      Pemerintahan supra nasional
Menurut Quthb negara atau pemerintahan Islam itu supra naional, meskipun dia menolak dipergunakannya istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan pada pemrintah pusat, yang dikelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat diseluruh duania Islam, tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, bahkan dalam banyak hal tidak pula mengenal fanatisme keagamaan.
Menurut penilaian Quthb, pemerintahan Islam bercorak manusiawi, terutama dengan konsepsinya yang kuat tentang kesatuan manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia terhimpun di bawah bendera persaudaraan atau persamaan.
2)      Persamaan hak antara para pemeluk berbagai agama
Negara Islam menjamin bahwa hak-hak bagi orang-orang dzimmi dan kaum musyrikin terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin betul-betul ditegakan atas asas kemanusiaan, tanpa perbedaan antara pemeluk agama yang satu dengan agama yang lain apabila sampai kepada persoalan krbutuhan manusia pada umumnya. Islam memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemeluk agama lain, dan memberikan jaminan persamaan yang mutlak dan sempurna kepada masyarakat, dan bertujuan merealisasi kesatuan kemanusiaan dalam bidang peribadatan dan sistem kemasyarakatan.
3)      Tiga asas politik pemerintahan Islam
Menurut Quthb politik pemerintahan dalam Islam didasarkan atas tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Seorang penguasa harus adil secara mutlak, keputusan dan kebijaksanaannya tidak terpengaruh oelh perasaan senang atau benci, suka atau tidak suka, hubungan kerabat, suku dan hubungan-hubungan khusus lainnya. Dalam negara Islam setiap individu menikmati keadilan yang sama, tanpa ada diskriminasi yang didasarkan atas keturunan dan atau kekayaan. Keharusan atau kewajiban taat kepada pemegang kekuasaan itu, menurut Quthb perpanjangan dari kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab taat kepada pemegang kekuasaan itu bukan karena jabatan mereka, tetapi oleh karena mereka menegakan syariat Allah dan Rasul-Nya. Permusyawaratan merupakan salah satu dari prinsip pemerintahan Islam, sedangkan teknik pelaksanaannya tdak secara khusus ditetapkan.
Dari beberapa penjelasn di atas, maka dapatd isimpulkan bahwa konsepsi politik Al-Ikhwan al-Muslimin adalah:
1)      Dunia Islam merupakan suatu kesatuan politik, di bawah satu pemerintahan supra nasional, dengahn sistem sentralisasi kekuasaan, dan tidak mengenal batas-batas kebangsaan;
2)      Kepemimpinan negara atau iomamah berfungsi sebagai pengganti kenabian, tetapi tidak berarti bahwa kepala negara atau imam memiliki kekuasaan keagamaan yang diterimnya dari Allah. Dia menjadi kepala negara semata-mata karena dipilih oleh kaum muslimin, dan mereka mempunyai hak untuk mengawasinya dan menurunkannya dari jabatan sebagai kepala negara kalau ternyata dia tidak melaksanakan atau telah melanggar syariat Islam;
3)      Dalam negara Islam dijamin kebebasan dan persamaan hak bagi golongan-golongan non-Islam. Tetapi hak untuk menjadi kepala negara dan hak untuk ikut memilih kepala negara merupakan hak-hak eksklusif orang-orang Islam saja;
4)      Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima Islam sebagai agamanya dan yang melaksanakan syariat Islam. Tentang bentuknya dapat menganut sistem atau pola apa pun, asalkan berasaskan keadil;an, persamaan, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat dalam hal-hal yang belum ditentukan jalan pemnyelesaiannya oleh nash Al-Quran atau Hadits; dan
5)      Sementara itu tidak ada kejelasan tentang cara pemilihan kepala negara oleh rakyat, misalnya apakah secara langsung. Tidak pula disinggung tentang lamanya masa jabatan kepala negara, untuk satu jangka waktu tertentu atau untuk seumur hidup.

D.           Maududi
Pokok-pokok piriran Maududi tentang kenegaraan
Dari sekian banyak karya tulis Maududi, selain buku pertamanya yang berjudul Perang Dalam Islam, juga terdapat enam risalah dan satu buku yang berkaitan dengan gagasannya tentang kenegaraan. Enam risalah tersebut adalah: (1) Teori polotik Islam, (2) Metode revolusi Islam; (3) Hukum Islam dan cara pelaksanaannya;(4) Kodifikasi konstitusi Islam; (5) Hak-hak golongan dzimmi dalam negara Islam; dan (6) Prinsip-prinsip dasar bagi negara Islam.
Pertama-tama perlu dikemukakan bahwa terdapat tiga dasar keyakinan yang melandasi pikiran-pikiran Maududi tentang kenegaraan menurut Islam, yaitu :
Pertama, Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik dengan arti di dalam Islam terdapat pula sisrtem politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam tidak perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat, cukup kembali kepada sistem Islam dengan menunjk kepada pola politik semasa Al-Khulafa al-Rasyidin sebagai model atau contoh sistem kenegaraan menurut Islam;

Kedua, Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah, dan umat manusia hanyalah pelaksana-pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah-khalifah Allah di bumi. Dengan demikian, maka tidak dapat dibenarkan gagasan kedaulatan rakyat, dan sebagai pelaksana kedaulatan Allah umat manusia atau negara harus tunduk kepada hukum-hukum sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi, sedangkan yang dimaksudkan khalifah-khalifah Allah yang berwenang melaksanakan kedaulatan Allah itu adalah 9hanya) umat atau orang laki-laki dan perempuan Islam.
Ketiga, Sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-ikatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Berdasarkan tiga dasar keyakinan atau anggapan tersebut, maka lahirlah suatu konsepsi kenegaraan Islam yang pokok-pokoknya adalah seperti berikut:
1)      Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena dalam sistem demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya di tangan rakyat, dengan arti bahwa undang-undang atau hukum itu diundangkan, diubah dan digantisemata-mata berdasarkan pendapat dan keinginan rakyat. Sistem politik Islam lebih tepat disebut teokrasi, meskipun pengertian teokrasi di sini sama sekali berbeda dengan teokrasi di Erofa. Teokrasi Erofa adalah suatu sistem dimana kekuasaan negara berada pada kelas tertentu, kelas pendeta, yang atas nama tuhan menyusun dan mengundangkan undang-undang atau hukum untuk kepentingan rakyat sesuai dengan keinginan dan kepentingan kelas itru, dan memerintah negara dengan berlindung di belakang hukum-hukum Tuhan. Sedangkan teokrasi dalam Islam, kekuasaan Tuhan itu berada di tangan umat Islam yang melaksanakannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi.atau mungkin dapat diciptakan istilah baru yaitu teodemokrasi, karena dalam sistem ini umat Islam memiliki kedaulatan rakyat yang terbatas.

2)      Pemerintah/badan eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam, dan pada merekalah hak untuk memmecatnya dari jabatannya. Demikian juga penyelesaian soal-soal (kenegaraan) yang tidak mendpatkan hukum yang jelas dalam syariat Islam, harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam. Hak untuk menjelaskan undang-undang atau untuk menafsirkan atau mengartikan suatu nash (dari Al-Quran dan Hadits) tersebut bukan milik khusus suatu kelas atau keluarga tertentu, melainkan merupakan hak bagi tiap warga negara (muslim) yang telah mencapai tingkat Mujtahid. Dengan demikian maka sistem politik Islam dapat disebut demokrasi dengan ketentuan bahwa kalau sudah terdapat nash (dalam Al-Quran dan Hadits) maka baik pemuka-pemuka Islam, mujtahid, alim ulama, badan legislatif atau bahkan seluruh umat Islam sedunia, tidak berhak mengubah sepatah kata pun dari nash tersebut. Itulah sebabnya maka sistem politik Islam dapat dinamakan teokrasi.
3)      Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau bedan: legislatif, eksekutif dan judikatif, dengan ketentuan-ketyentuan sebagai berikut:
a.       Kepala negara yang juga merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintah merupakan pimpinan tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan kepada rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, dia harus selalu berkonsultasi dengan Majelis Syura uang mendapatkan kepercayaan dari umat Islam atau lembaga legislatif, yang anggotanya dipilih melalui pemilihan, meskipun prosedur demikian tidak terdapat pada zaman Al-Khulafa al-Rasyidin;
b.       Keputusan pada majelis syura pada umumnya diambil atas suara terbanyak, dengan catatan bahwa menurut Islam banyaknya suara bukan ukuran kebenaran;
c.       Keputusan negara tidak harus mengikuti pendapat majelis yang didukung oleh suara terbanyak. Dia dapat mengambil pendapat yang didukung oleh kelompok kecil dalam majelis, atau bahkan tidak menghiraukan sama sekali pendapat-pendapat majelis, baik mayoritas maupun minoritas. Tetapi rakyat wajib mengawasi dengan jeli kebijaksanaan kepala negara, dan kalau ternyata dalam memerintah dia lebih dahulu mementingkan hawa nafsunya maka mereka berhak memecatnya;
d.      Untuk jabatan kepala negara. Untuk keanggotaan majelis syura ,atau untuk jabataan-jabatan lain yang penting , jangan dipilih orang-orang yang mencaolonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki jabatan-jabatan itu, sesuai9 dengan sabda Nabi, bahwa beliau tidak akan menyerahkan jabatan kepada seorang yang meminta atau berusaha mendapatkan jabatan itu. Dalam masyarakat Islam, tidak ada tempat untuk pencalonan bagi pengisian jabatan-jabatan pemerintah dan tidak pula dibenarkan kampanye pemilihan. Adalh bertentangan dengan jiwa Islam bahwa untuk mengisi satu jabatan terdapat dua, tiga atau empat calon yang masing-masing giat kampanye dengan segala cara seperti rapat, pesta dan pawai serta penggunaan media elektronika dan cetak dengan menghamburkan uang, dan nanti yang menang aalah mereka yang paling pandai berbohong dan mengelabui rakyat suatu hal yang dikutuk oleh Islam;
e.       Anggota majelis syura tidak dibenarkan terbagi kepada kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing anggotra majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar sebagai perorangan. Islam melarang anggota majelis terbagi dalam partai-partai, dan kalau harus ada partai hanyalah satu partai: partai kepala negara (pemerintah).
f.        Badan judikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif, yang berarti mandiri, oleh karena hakim tugasnya adalah malaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-Nya, bukan mewakili atau atas nama kepala negara, tetapi mewakili dan atas nama Allah. Dalam ruang pengadilan kedudukan kepala negara adalah sama tinggi dengan orang-orang lain, dan tidak dapat dibenarkan pemberian dipensasi kepada seseorang untuk tidak hadir pada sidang pengadilan hanya karena kedudukannya dalam pemerintahan atau dalam masyarakat.
4)      Syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk dipilih menjadi kepala negara adalah: beragama Islam, laki-laki, dewasa, sehat pisik dan mental,   warga yang terbaik, saleh dan kuat komitmennya kepada Islam. Pemilihan kepala negara oleh dan harus atas persetujuan seluruh umat Islam, dan tidak dibenarkan seseorang memaksakan dirinya atas umat dengan kekerasan atau paksaan, dan jabatan kepala negara bukan milik keluarga atau kelas tertentu. Seharusnya pemilihan kepala negara diselenggarkan sesuai dengan persetujuan umat Islam tanpa kekerasan dan penipuan. Tentang bagaimana hal tersebut dilaksanakan, Islam tidak menetapkan metode tertentu. Mungkun saja ditempuh berbagai metode dan cara yang sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan umat Islam, asalkan dengan cara-car tersebut dapat diketahui siapa yang benar-benar mendapatkan kepercayaan rakyat. Kalau nanti dalam memerintah ternyata dia melanggar ketentuan-ketentuan syariah dan atau kehilangan kepercayaan rakyat, maka rakyat dapat memecatnya.
5)      Keanggotaan majelis syura terdiri dari warga negara yang  beragama Islam, dewasa dan laki-laki yang terhitung saleh, serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan syariah dan menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan sunnah Nabi. Jai wanita Islam tidak boleh duduk dalam majelis syura. Sedangkan tugas majelis adalah: (1) merumuskan dalam peraturan perundang-undangan petunjuk-petunjuk yang secara jelas telah didapatkan dalam Al-Quran dan Hadits serta peraturan pelaksanaannya; (2) Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat Al-Quran atau Hadits, maka memutuskan penafsiran makna yang ditetapkan; (3) Jika tidak terdapat petunjuk yang jelas, menentukan hukum dengan memperhatikan semangat atau petunjuk umum dari Al-Quran dan Hadits; (4) dalam hal sama sekali tidak terdapat petunjuk-petunjuk dasar, dapat saja menyusun dan mengesahkan undang-undang, asalkan tidak bertentangan dengan huruf maupun jiwa syariah.
6)      Dalam negara Islam terdapat dua kategori kewarga negaraan, warga negara yang beragama Islam dan warga negara bukan Islam. Warga negara yang bulan Islam, itu disebut dzimmi (rakyat yang dilidungi). Mereka mendapat perlindungan negara dan hak serta kewajiban tertentu seperti hak untu kberibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam hal-hal keagamaan, mereka diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Tetapi dalam bidang-bidang kehidupan yang lain, merka tunduk kepda hukum Islam, agama mayoritas. Oleh karena negara Islam adalah negara yang berdasarkan ideologi atau agama, maka hanya meraka yang menrima ideologi atau agama Islamnya yang berhak ikut mengaatur negara karenanya warga negara bukan Islam tidak dibenarkan menduduki jabatan-jabatan kunci dalam pemerintahan dan merumuskan kebijaksanaan dan politik negara. Mereka juga dibebaskan dari wajib bela negara. Orang-orng bukan Islam, paling tinggi hanya boleh duduk di DPRD tingkat II, yang tidak merumuskanatau memutuskan kebijaksanaan politik. Inilah salah satu perbedaan yang mendasarkan antara negara-negara nasional dan negara Islam. Kewarga negaraan negara nasional didasarkan atas keanggotaan suatu bangsa, ras atau kelompok etnik, sedangkan kewarga negaraan negara Islam didasarkan atas ideologi atau agama.

E.           Muhammad Husain Haikal
Pokok-pokok pikiran Haikal tentang kenegaraan
Menurut Haikal, Islam hanya meletakan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia, atau ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya yang pada gilirannya akan mewarnai pola kehidupan politik. Adapun prinsip-prinsip yang diletak oleh Islam bagi peradaban manusia menurut Haikal adalah: iman (percaya) akan keesaan tuhan (tauhid), percaya tentang adanya hukum alam atau Sunnah Allah yang pasti dan tidak pernah berubah, dan yang terakhir persamaan.
Islam mengajak umat manusia untuk menyetujui suatu keyakiann dasar sebagai asas tunggal bagi kehidupan bersama. Keyakinan dasar ataiu aqidah asasiyah yang ditawarkan oleh Islam, itu adalah tauhid atau percaya kepada keesaan tuhan. Tauhid atau percaya akan keesaan tuhan dapat dipergunakan sebagai keyakinan dasar untuk landasan hubungan bermasyarakat antar umat-umat dari berbagai agama.
Prinsip dasar kedua yang diletakan oleh Islam bagi peradaban manusia adalah kepercayaan bahwa alam semesta ini, termasuk kehidupan manusia, tunduk kepada Sunnah Allah atau hukum alam, dan Sunnah Allah tersebut tidak pernah berunbah dan tidak pula akan berubah.

Prinsip ketiga adalah persamaan. Iamn akan keesaan tuhan (tauhid) dan kpeercayaan bahwa alam semesta, termasuk umat manusia, tunduk kepada Sunnah Allah atau hukum alam membawa kita kepada kesimpulan bahwa semua manusia sama derajatnya di muka tuhan, sama hak dan kewajibannya, dan sama-sama tunduk kepada Sunnah Allah. Kebeasan beragama dan menyatakan pen dapat tetsp terjamin. Bagimereka yang tetap tidak bersediya memeluk agama Islam diharuskan membayar jizah [upeti atau pajak ] dengan imbalan perlidungan dan pembebasan dari keajiban bela negara. Persamaan antara sesama umat Islam itu meliputi pula persamaan penuh antara laki laki dan wanita.

Perinntahan Islam
Meurut Haikal sukar menentukan dan memilih mana dari tiga corak pemerintahan itu yang harus diambil contoh. Corak atao sistem pemerintahan itu tidak semata mata ditentukan oleh prinsip perinsip ajaran saja, tetapi juga oleh sittuasi lingkungan, sejarah, latar belakang budaya, dan tingkat perkembangan intelektual serta peradaban. Corak pemerintahan Islam aepanjang sejarah telah banyak di pengaruhi oleh banyak paktor, baik internal maupun eksternal, yang di antaranya banyak yang bertentangan dengan perisip perisip dasar menurut Haikal, didalam Islam tidak terdapat satu sistem pemerintahan yang baku. Umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan yang bagai mana pun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara parawarga negaranya, baik hak maupun kewajiban, dan juga di muka hukum, dan pengelolaan urusan negara diselanggarakan atas syura atau musawaroh  , dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam bagi peradaban manusiya. Sistem pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan ketentuan Islam adalah sistem yang menjamin kebebasan dan berasaskan perinsip bahwa pengangkatan kepala negara dan kebijaksanaanyna harus sepersetujuan rakyat. Bahwa rkyat berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahandan meminta pertanggungjawaban. Islam mengimbau kepada umat manusia, khususnya umat Islam, agar berusaha melaksanakan perisip perinsp tersebut sejauh kemampuan.   
Sementara itu Haikal mengakui bahwa kesadaran umat Islam tentang hak hak mereka terhadap para penguasa itu baru timbul berkat masuknya pengaruh peradaban Barat, termasuk teori politiknya pada pertengahan abad XVIII. Oleh karenanya, sebagai mana muhamad abduh, dia tida segan segan secara selektif dan keritis mempelajari teori politik dan kemasyarakatan Barat, dan kalau ternyata baik dan sesuai akan ditiru. 
3. KESIMPULAN
Rasyid Ridha melanjutkan apa yang telah dirintis bersama gurunya, yakni pembaharuan keagamaan, dengan meneruskan penerbitan majalah Al-Manar dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, yaitu Al-Manar. Selain itu Ridha juga lebih aktif melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik Islam.
Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat-rakyat jajahan.
Salafiyah adalah suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni. Salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni:
a.       Keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-khulafa al-Rasyidin.
b.      Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan.
c.       Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam.
Menurut Rasyid Ridha, khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.
Menurut  Ridha, Ahl Hali Wa al Aqdi tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga dilengkapi dengan pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan sebagainya.

Ali Abd Al-Rasiq tidak sependapat dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, dan karenanya maka berdosa kalau tidak dilaksanakan. Abd al-Rasiq sama sekali tidak dapat menemukan dasar kuat yang mendukung kepercayaan bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mempunyai khalifah, baik dalam Al-Quran, Hadits maupun Ijma.
Konsepsi politik Al-Ikhwan al-Muslimin adalah:
1)      Dunia Islam merupakan suatu kesatuan politik, di bawah satu pemerintahan supra nasional, dengahn sistem sentralisasi kekuasaan, dan tidak mengenal batas-batas kebangsaan;
2)      Kepemimpinan negara atau iomamah berfungsi sebagai pengganti kenabian, tetapi tidak berarti bahwa kepala negara atau imam memiliki kekuasaan keagamaan yang diterimnya dari Allah. Dia menjadi kepala negara semata-mata karena dipilih oleh kaum muslimin, dan mereka mempunyai hak untuk mengawasinya dan menurunkannya dari jabatan sebagai kepala negara kalau ternyata dia tidak melaksanakan atau telah melanggar syariat Islam;
3)      Dalam negara Islam dijamin kebebasan dan persamaan hak bagi golongan-golongan non-Islam. Tetapi hak untuk menjadi kepala negara dan hak untuk ikut memilih kepala negara merupakan hak-hak eksklusif orang-orang Islam saja;
4)      Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima Islam sebagai agamanya dan yang melaksanakan syariat Islam. Tentang bentuknya dapat menganut sistem atau pola apa pun, asalkan berasaskan keadil;an, persamaan, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat dalam hal-hal yang belum ditentukan jalan pemnyelesaiannya oleh nash Al-Quran atau Hadits; dan
5)      Sementara itu tidak ada kejelasan tentang cara pemilihan kepala negara oleh rakyat, misalnya apakah secara langsung. Tidak pula disinggung tentang lamanya masa jabatan kepala negara, untuk satu jangka waktu tertentu atau untuk seumur hidup.

Konsepsi kenegaraan Islam menurut Al-Maududi adalah :
 1. Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena dalam sistem demokrasi kekuasaan negara itu sepenuhnya di tangan rakyat, dengan arti bahwa undang-undang atau hukum itu diundangkan, diubah dan digantisemata-mata berdasarkan pendapat dan keinginan rakyat.
2.   Kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau bedan: legislatif,  
      eksekutif dan judikatif.
3.  Pemerintah/badan eksekutif hanya dibentuk oleh umat Islam, dan pada merekalah hak untuk memmecatnya dari jabatannya. Demikian juga penyelesaian soal-soal (kenegaraan) yang tidak mendpatkan hukum yang jelas dalam syariat Islam, harus diputuskan oleh kesepakatan umat Islam. Hak untuk menjelaskan undang-undang atau untuk menafsirkan atau mengartikan suatu nash (dari Al-Quran dan Hadits) tersebut bukan milik khusus suatu kelas atau keluarga tertentu, melainkan merupakan hak bagi tiap warga negara (muslim) yang telah mencapai tingkat Mujtahid.  
Menurut Haikal, Sistem pemerintahan yang sesuai dengan ketentuan ketentuan Islam adalah sistem yang menjamin kebebasan dan berasaskan perinsip bahwa pengangkatan kepala negara dan kebijaksanaanyna harus sepersetujuan rakyat. Bahwa rkyat berhak mengawasi pelaksanaan pemerintahandan meminta pertanggungjawaban. Islam mengimbau kepada umat manusia, khususnya umat Islam, agar berusaha melaksanakan perisip perinsp tersebut sejauh kemampuan.