Rabu, 22 Desember 2010

PERAN NAHDHATUL ULAMA DALAM PEMBENTUKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara mengenai hubungan negara dan agama tidak lepas dari  paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi. Ke empat paham ini berbicara secara luas dan gamblang mengenai hubungan agama dan negara. Teokrasi, berpandangan bahwa   hubungan agama dan Negara mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan kata lain hubungan agama dan Negara sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan.karena pemerintahan dijalankan didasarkan firman-firman tuhan. Sekularis, berpandangan bahwa Negara dan agama tidak memiliki hubungan satu sama lain, dalam paham ini Negara dan agama adalah murni urusan hubungan manusia dengan manusia lain sedangkan agama adalah murni urusan manusia dengan tuhan. Komunis, paham ini berpandangan secara radikal, bahwa hubungan agama dan Negara berdasarkan pada filosofis materialism dialektis dan materialism historis. Output dan outcome dari pandangan ini adalah paham atheis. Moderasi, yaitu sintesa dari paham teokrasi dan sekuler. Paham ini berpendirian bahwa terdapat nilai-nilai baik, seperti nilai keadilan dan moral dan system keteraturan. Sementara Negara memiliki system kekuatan yang mengejawantahkan tujuan Negara, seperti nilai kesejahteraan dan kenyamanan warga Negara.
Namun dalam pembahasan makalah ini penulis tidak akan membahas mengenai hubungan agama dan Negara menurut paham teokrasi, sekularis, komunis dan moderasi seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Walaupun penulis sadar bahwa pembahasan mengenai paham tersebut masih menarik untuk dibahas.
Namun pembahsan makalah ini bertendensi pada hubungan agama dan Negara mengenai kontribusi atau sumbangsih Nahdhatul Ulama (NU) terhadap perjalanan sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia sebagai representasi dari Agama Islam . Dengan hal ini maka perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam makalh ini tidak melebar dan pembahsannya focus pada permasalahan yang dirumuskan.
 
B.        Rumusan masalah
Adapun rumusan maslah dalam pembuatan makalah ini adalah :
a.       Kapan Nahdhatul Ulama (NU) terbentuk?
b.      Seperti apa peranan Nahdhatul Ulama dalam Piagam Jakarta?

C .     Tujuan Penulisan
           Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a.       Mengetahui Sejarah Lahirnya Nahdhatul Ulama (NU)
b.      Mengetahui sejauh mana Nahdhatul Ulama (NU) berperan dalam Piagam Jakarta.
                                                                                                                  
BABII
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Lahirnya Nahdhatul Ulama
Sebelum Nahdhatul Ulama berdiri, desakan dari kalangan muda islam tradisionalis kepada K.H Hasyim Asyari untuk segera merestui pembentukan organisasi yang mengkoordinir kaum islam tradisionalis sebagai wadah insipirasi dan aspirasi golongan tersebut sudah mulai muncul namun K.H. Hasyim Asyari belum merestuinya. Embrio-embrio NU muncul ketika pada tahun 1916, kiai wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdhatull wathon (kebangkitan tanah air) DI Surabaya. Namun lama kelamaan madrasah tersebut menjadi markas penggemblengan para remaja, dari situ kemudian lahirlah sebutan jam’iyah Nasihin yang bertujuan untuk mendidik muridnya supaya menjadi pemimpin.
Pada awal tahun 1918, kiai wahab juga membentuk sebuah koperasi pedagang yang bernama Nahdhatut tujjar.
Tidak berhenti disitu perjuangan kiai Wahab sebagai embrio Nahdhathul Ulama. Pada tahun 1919 berdiri madrasah yang bernama Taswhirul Affkar, yang bertujuan untuk menyediakan bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar yang ditujukan sebagai “sayap” untuk membela kepentingan islam tradisionalis.
Baru pada tanggal 31 januari 1926,Nahdahtul Ulama secara defacto lahir atas persetujuan K.H Hasyim Asya’ri. Nahdhatul Ulama lahir sebagai organisasi keagamaan yang menjunjung tingi nilai-nilai tradisional, fenomena lahirnya NU sebagai Organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional karena pada tahun awal Nu berdiri sedang gencar-gencarnya isu pemurnian agama islam, yang dianut oleh kaum wahabi yang mengancam kaum islam tradisional. Ajaran wahabi tersebut mengangap banyak umat islam yang masuk dalam kategori kafir, salah satunya ialah ritual mengunjungi makam-makam keramat atau berziyarah kubur.
Berdirinya NU juga sebagai strategi kaum islam tradisionalis untuk dapat hadir dalam delegasi pertemuan umat islam sedunia yang diselenggarakan oleh Ibnu Sa’ud di Makkah untuk membahas tentang persoalan tata cara beribadah umat islam. Dua tahun setelah Muktamar NU pertama, NU berhasil mengirim delegasinya. Ada 4 misi yang dibawa Nu untuk diserahkan raja Ibnu sa’ud. Pertama, kemerdekaan bermadzhab. Kedua, pengizinan kitab-kitab karangan Imam Ghazali, imam sanusi dll. Ketiga, permohonan untuk meramaikan tempat-tempat bersejarah dan yang keempat, meminta penjelasan tarif naik haji serta penjelasan tertulis mengenai kepastian hukum yang berlaku di negeri Hijaz. Namun, hanya satu yang dikabulkan oleh Ibnu Sa’ud yaitu mengenai kemerdekaan bermadzhab, sedangkan hal yang lainnya tidak ditanggapi sama sekali.
Pada tahun 1928 Secara dejure NU lahir sebagi organisai, karena pada tahun itu NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah belanda. Namun pengakuan tersebut diterima pada tanggal 6 Februari 1930. NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan anutan yang ketat pada keempat mazhab dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama islam.

B.     Peran Nahdhatul Ulama dalam Pembentukan Negara Republik Indonesia
Setelah mengurai secara singakt namun jelas dan gamblang berdirinya organisasi Nahdhatul Ulama dari mulai menjelaskan embrio-embrio dari fenomena kemunculan Nahdhathul Ulama sampai pada akhirnya terbentuk secara de facto dan de jure organisasi yang bernama Nahdhatul Ulama yang bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalis seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis akan membahas peran Nahdhatul Ulama dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.
Tidak diragukan lagi bahwa peranan NU dalam pembentukan NKRI sangat berperan aktif dalam pergerakannya. NU bukan hanya organisasi yang berbicara masalah keagamaan yang menjunjung nilai-nilai tradisionalis. Namun, NU juga berbicara mengenai motif Nasionalisme atau kemerdekaan atas Negara yang pada waktu itu dijajah oleh colonial Belanda.
Sepeti yang telah dibahas dibagian sebelumnya, NU dalam lintasan sejarah secara tidak langsung mempersiapkan kekuatan untuk pengusiran penjajah di Nusantara, salah satunya Nahdhatul Wathan yang didirikan pada tahun 1916 oleh kiai Wahab Hasbullah, sebagai pondasi awal semangat nasionalisme. Pembentukan Nahdhatul Wathan ditujukan untuk menggarap para murid-muridnya untuk menanamkan rasa nasionalisme, jalur ini memang lebih cendrung berorientasi pendidikan.
Namun setelah organisasi yang bernama Nahdhatuhul Ulama ini terbentuk, nahdhathul Ulama dalam anggaran dasarnya tidak menyebutkan kemerdekaan sebagai salah satu tujuannya. Baru dikemudian hari, anti-kolonialisme diajarkan dan tertuang dalam buku-buku pegangan sekolah kaum tradisionalis. Bahkan Kiai HM dachlan menjelaskan bahwa perjuangan anti-penjajah merupakan asal usl Nahdhathul Ulama.
Akan tetapi, mengutip dari Choirul Anam, Nahdhatul Ulama, secara implicit bertujuan melawan Belanda. Empat tahun setelah berdirinya NU, yakni sekitar tahun 1930-an, dalam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang didirikan oleh para kiai NU, diwajibkannya menyanyikan lagu kebangsaan setiap hari kamis setelah mata pelajaran selesai. Bukan hanya itu, tapi buku-buku yang dilarang dipelajari di sekolah-sekolah oleh penjajah, beredar di pesantren-pesantren serta madrasah-madrasah. Hal ini jelas bahwa Nahdhatul Ulama serius dalam pengusiran penjajah dengan menanamkan rasa nasionalisme sebagai pondasi awal perlawanan terhadap Belanda.
Dalam bidang hokum khususnya pada urusan keagamaan umati islam, Nahdhathul Ulama secara tegas untuk menolak interfensi dari  pemerintahan Belanda. Pada tahun 1931, masalah warisa ditarik dari wewenang Pengadilan Agama, artinya bahwa hokum adat yang kembali diberlakukan di Pulau jawa, Madura dan Klaimantan selatan. Hal ini bukan semata-mata diberlakukannya hokum adat akan tetapi penggrogotan wewenang Pengadilan Agama yang merupakan lambing wewenang kaum muslimin yang menimbulkan rasa tidak senang tersebut.
Di massa-masa persiapan kemerdekaan, meskipun NU tidak melibatkan diri secara langsung dalam dunia politik, para pemimpin NU memperhatikan juga bentuk Negara Indonesia yang akan datang. Hal ini dipertegas dalam Muktamar XV pada tahun 1940, Muktamar ini sekaligus Muktamar terakhir pada masa Colonial Belanda, dalam muktamar tersebut berkesimpulan menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai calon presiden yang pantas memimpin bangsa. Muktamar tersebut dihadiri oleh 11 tokoh NU yang dipimpin oleh Mahfudz Shidiq.
Selanjutnya, di masa proklamasi kemerdekaan,  berdebatan sengit mengenai bentuk Negara yang dimulai dari tahun 1920-an, akhirnya memuncak saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945. Sebenarnya bukan hanya bentuk Negara yang diperdebatkan, akan tetapi banyak hal lain yang diperdebatkan mengenai jati diri negar kedepannya, antara lain : mengenai batas wilayah, bentuk Negara, dan bentuk pemerintahan.
Yang pada akhirnya, di Bulan April 1945, dalam pidatonya, Soekarno meletakan dasar Negara dengan dasar 5 sila atau yang masyhur disebut dengan pancasila.   
Peranan NU dalam melegalkan pancasila ini tercermin dalam iskusi antara Soekarno, kiai Wahab Hasbullah, kiai Masykur dan kahar Muzakar yang berkesimpulan bahwa 5 sila tersebut representasi dari ajaran Islam. Akan tetapi titik tekan yang dilakukan oleh para pemimpin Islam tersebut lebih kepada persatuan Indonesia yang terdiri dari beberapa agama dan banyak suku bangsa yang tersebar luas di belahan nusantara.
Lagi-lagi, pancasila kembali menimbulkan diskursus dengan golongan islam kanan dan golongan nasionalis, hingga pada akhirnya Soekarno memanggil panitia 62 kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri dari 9 orang yang akan membahas kompromi antara kaum islam dan nasionalis. Kiai Wahid Hasyim sebagai representasi dari golongan islam tradisional atu NU, dalam rapat panitia tersebut membuahkan hasil dengan menambahkan acuan syariat islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
Tidak berhenti disitu perdebatan mengenai 5 sila tersebut, pada rapat selanjutnya, piagam Jakarta tersebut dipertanyakan kembali oleh tokoh nasionalis dan Kristen. Latuharahray, dari protestan, melontarkan dengan tegas kekhawatirannya mengenai ditambahkannya syariat islam dalam sila tersebut, yang berdampak pada perpecahan. Dari NU sendiri yang diwakili oleh Wahid Hayim mengusulkan agar agama Negara adalah islam, dengan jaminan bagi pemeluk lain untuk dapat beribadah menurut agamanya masing-masing.
Perdebatan sengit mengenai piagam jakarta ini, saat dua hari setelah jepang menyerah, yakni pada tanggal 17 Agustus malam, pada hari proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, menerima kunjungan perwira jepang yang menyampaikan keberatan-kebeatan penduduk di Indonesia Timur, yang tidak beragama Islam mengenai dimuatnya piagam Jakarta pada mukaddimah UUD, bila tidak diuabah, mereka lebih suka berdiri diluar republic Indonesia. Artinya mereka tidak akan bergabung dengan Indonesia dan perpecahan ini diakibatkan oleh piagam Jakarta pada muqadimahnya. Pada akhirnya pada tanggal 18 agustus Muhamad Hatta memanggil empat anggota panitia persiapan kemerdekaan yang diwakili oleh Islam. Antra lain yaitu: Ki Bagus Adi Kusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Muhamad Hasan dan Wahid Hasim. Hasil rapat panitia tersebut berkat usulan Wahid Hasim yaitu mengenai digantinya syariat Islam dengan ketunahan yang maha esa.  Wahid Hasim sebgai representasi dari NU berperan penting atas persatuan bangsa Indonesia dengan kata lain beliau adalah pahlawan konstitusi Republik Indonesia yang menjungjujng tinggi persatuan dankesatuan, tanpa menghilangkan nilai-nilai Islam dalam piagan Jakrta tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Atas persetujuan kyai Hasim Asyari NU lahir pada tahun 1926 yang di pelopori oleh Wahab Hasbulloh, yang sebelumnya membentuk gerakan-gerakan seperti Nahdatul Waton, dan sebagainya. Organisasi NU, bertujuan  menjungjung tinggi nilai tradisional khususnya di bidang keagamaan dan motif nasionalisme.
Peran NU dalam pembentukan Negara Republik Indonesia, berperan penting dan tercermin dalam gerakan Nahdatul Waton sebelum NU lahir, Nahdatul Waton sendiri bertujuan untuk menanamkan masyarakat Indonesia supaya tumbuh jiwa-jiwa nasionalismenya. Nahdatul Waton berdiri pada 1916 yang didirikan oleh Wahab Hasbuloh di Surabaya,. Baru pada tahun 1926 dimana pada tahun itu Nu lahir, perjuangan NU terhadap pengusiran penjajah terejawantahkan dalam perlawanan-perlawanan terhadap colonial Belanda mengenai hukum keagamaan yang terintervensi oleh Belanda. Perjuangan pengusiran Belanda tidak hanya sampai disitu diempat tahun kelahiran NU, NU berani menentang kebijakan colonial Belanda yang melarang peredaran buku-buku di dalam pondok pesantren dan madrasah serta menyanyikan lagu kebangsaan di akhir kegiatan belajar mengajar.
Dalam masa persiapan kemerdekaan NU juga berperan penting terhadap persatuan dan kesatuan Republik Indonesia, dengan memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada piagam Jakarta, yang pada waktu itu menjadi perdebatan sengit mengenai dicantumkannya syariat Islam pada piagam Jakarta yang dianggap salah satu perpecahan karena banyak penganut agama diluar Islam yang turut andil dalam pembentukan NKRI. Walaupun demikian sikap NU bukan berrati menjauhi ajaran Islam akan tetapi lebih kepada subtansi dari nilai ajran Islam bukan hanya skriptual yang terletak di piagam Jakarta tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
                               

1.         Ismatullah Deddy, Gatara Sahid, A.A ; Ilmu Negara Mutahir ‘Kekuasaan, Masyarakat, Hukum dan Agama (Bandung`:Pustaka Attabdir : 2006).
2.         Anwar Ali; “Avonturisme” NU.(Bandung: Hunaniora:2004).
3.         Feillard Andree:NU vis-à-vis Negara”Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna”.(Yogyakarta:LKIS:2009).